Kerajaan Samudera Pasai adalah salah satu kerajaan Islam paling awal yang berkembang di wilayah Nusantara. Terletak di wilayah pesisir utara Sumatra, tepatnya di sekitar Lhokseumawe, Aceh Utara, kerajaan ini muncul sebagai pusat peradaban Islam pertama di wilayah kepulauan ini, sekaligus sebagai mercusuar penyebaran Islam yang berpengaruh luas di Nusantara.
Latar Belakang dan Berdirinya Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai diperkirakan berdiri pada abad ke-13, sekitar tahun 1267 Masehi, oleh Sultan Malik Al-Saleh (dulu dikenal sebagai Merah Silu sebelum memeluk Islam). Menurut sejumlah catatan, Malik Al-Saleh awalnya adalah seorang pemimpin di wilayah Samudera, namun setelah memeluk Islam dan menjadi seorang sultan, ia berhasil menyatukan beberapa wilayah di sekitarnya untuk membentuk sebuah kerajaan yang kuat. Nama “Samudera” merujuk pada posisi geografis kerajaan yang berada di wilayah pesisir atau dekat laut, sementara “Pasai” mungkin berasal dari nama pelabuhan yang berperan penting dalam perdagangan.
Kejayaan dan Pusat Perdagangan Islam
Di bawah kepemimpinan Sultan Malik Al-Saleh dan penerusnya, Kerajaan Samudera Pasai berkembang pesat. Selain menjadi pusat penyebaran agama Islam, kerajaan ini juga dikenal sebagai pusat perdagangan dan keilmuan. Karena letaknya yang strategis di jalur pelayaran Selat Malaka, Samudera Pasai menjadi persinggahan penting bagi para pedagang dari berbagai negara, seperti Arab, Persia, India, hingga Tiongkok.
Bahkan, Samudera Pasai sempat dijuluki sebagai “pelabuhan emas” karena tingginya volume perdagangan dan kemakmuran yang dimilikinya. Emas, lada, rempah-rempah, dan hasil bumi lainnya diperdagangkan di sini, menjadikan Samudera Pasai salah satu pusat komoditas paling penting di Asia Tenggara. Kehadiran pedagang dari berbagai wilayah ini juga mendorong masuknya pemikiran, budaya, dan keilmuan Islam ke Nusantara.
Peran dan Pengaruh Kerajaan dalam Penyebaran Islam
Kerajaan Samudera Pasai memainkan peran besar dalam penyebaran agama Islam di wilayah Sumatra dan sekitarnya. Para sultan yang memerintah sangat mendukung dakwah dan penyebaran ajaran Islam. Dengan dukungan dari kerajaan, banyak ulama, dai, dan pemikir Islam datang ke Pasai dan turut berperan dalam menyebarkan ajaran Islam, baik kepada rakyat biasa maupun kepada keluarga kerajaan dan bangsawan di berbagai wilayah Nusantara.
Selain itu, Samudera Pasai menjadi tempat berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan Islam, seperti fikih, tasawuf, tafsir, dan tata bahasa Arab. Kerajaan ini mencetak banyak naskah keagamaan dalam bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu atau Jawi, yang menjadi media penting untuk mempelajari dan menyebarkan agama Islam ke wilayah-wilayah Nusantara lainnya, termasuk ke Jawa, Kalimantan, dan Maluku.
Sistem Pemerintahan dan Kehidupan Sosial-Budaya
Pemerintahan di Kerajaan Samudera Pasai berbasis pada sistem monarki yang dipimpin oleh seorang sultan sebagai penguasa tertinggi. Sultan bertindak sebagai pemimpin spiritual sekaligus pemimpin politik, yang artinya ia memiliki tanggung jawab untuk mengatur kehidupan masyarakat baik dalam bidang agama maupun administrasi kerajaan. Hukum yang diterapkan didasarkan pada hukum Islam atau syariat, yang diadaptasi dengan kearifan lokal dan budaya masyarakat setempat.
Dalam kehidupan sosial-budaya, rakyat Samudera Pasai hidup dalam harmoni antara budaya Islam yang dibawa oleh pedagang dan pendakwah serta tradisi lokal yang masih kuat. Seni budaya Islam, seperti kaligrafi, musik, dan sastra, mulai berkembang dan bersinergi dengan kebudayaan Melayu. Samudera Pasai menjadi tempat lahirnya seni budaya Islam-Melayu yang khas dan terus menjadi inspirasi bagi kerajaan-kerajaan Islam setelahnya.
Hubungan Luar Negeri dan Diplomasi
Kerajaan Samudera Pasai juga menjalin hubungan diplomatik yang kuat dengan berbagai kerajaan di Asia, termasuk dengan Kesultanan Delhi di India dan Dinasti Yuan di Tiongkok. Bukti adanya hubungan diplomatik dengan Tiongkok ditemukan dalam catatan perjalanan Laksamana Cheng Ho, yang pernah singgah di Samudera Pasai pada abad ke-15. Selain itu, Samudera Pasai memiliki hubungan erat dengan kesultanan-kesultanan Islam di Timur Tengah yang turut mendorong pengiriman ulama-ulama ke Nusantara.
Hubungan diplomatik ini tidak hanya memperkuat posisi Samudera Pasai sebagai pusat perdagangan dan peradaban Islam, tetapi juga membantu kerajaan tersebut mendapatkan pengakuan di kancah internasional. Banyak kerajaan di luar Nusantara yang melihat Samudera Pasai sebagai bagian dari dunia Islam yang lebih luas, sehingga dukungan dan aliansi politik dengan kerajaan-kerajaan besar pun terjalin.
Kejatuhan Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran pada awal abad ke-16, seiring dengan meningkatnya dominasi Portugis di Selat Malaka yang merampas kendali perdagangan di wilayah tersebut. Penaklukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 menjadi titik awal menurunnya peran Samudera Pasai sebagai pusat perdagangan, karena jalur pelayaran dan perdagangan mulai dikendalikan oleh bangsa Eropa.
Selain itu, munculnya Kesultanan Aceh sebagai kekuatan baru di wilayah Sumatra Utara juga turut mempercepat kejatuhan Samudera Pasai. Pada akhirnya, Samudera Pasai takluk di bawah Kesultanan Aceh pada pertengahan abad ke-16. Setelah itu, pengaruh dan kejayaan Samudera Pasai sebagai pusat peradaban Islam pertama di Nusantara mulai pudar, meskipun warisan budayanya tetap berpengaruh hingga sekarang.
Warisan dan Peninggalan Samudera Pasai
Meskipun kerajaan ini sudah lama runtuh, warisan Samudera Pasai tetap terasa di Nusantara, terutama dalam aspek agama, budaya, dan bahasa. Banyak naskah-naskah keagamaan dan hukum Islam yang ditemukan dari masa Samudera Pasai, yang masih dipelajari hingga sekarang. Makam Sultan Malik Al-Saleh dan beberapa raja lainnya di Samudera Pasai juga menjadi situs bersejarah yang dikunjungi oleh banyak orang, terutama oleh mereka yang ingin menelusuri jejak awal peradaban Islam di Nusantara.
Peninggalan arkeologis dan manuskrip dari era Samudera Pasai menunjukkan betapa majunya peradaban Islam pada masa itu, serta besarnya peran yang dimainkannya dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Warisan Samudera Pasai juga dapat dilihat dalam bahasa Melayu, yang menjadi bahasa pengantar Islam di Nusantara, dan adat istiadat Melayu-Islam yang berkembang di Sumatra dan wilayah-wilayah lainnya.
Kerajaan Samudera Pasai bukan hanya pusat peradaban Islam pertama di Nusantara, tetapi juga simbol dari kemajuan dan keterbukaan masyarakat Nusantara terhadap budaya dan keilmuan asing. Dengan kehadiran Samudera Pasai, Islam berkembang pesat di Nusantara dan menjadi bagian penting dari identitas bangsa Indonesia hingga saat ini.
Melalui peran perdagangan, diplomasi, dan penyebaran ilmu pengetahuan, Samudera Pasai tidak hanya menjadikan Islam sebagai agama yang dianut secara pribadi, tetapi juga sebagai kekuatan budaya dan politik yang membentuk tatanan sosial masyarakat di Nusantara. Kerajaan ini meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah Indonesia sebagai perintis dalam menjadikan Nusantara sebagai pusat peradaban Islam di Asia Tenggara.